Arie Tulus : Cintaku Berbunga Di Kampus Berbukit (6)

Cintaku (6) Digital Art. Arie Tulus 2020

6.

Pukul 7.00 pagi kampus masih sepi, teman-teman mahasiswa belum ada yang datang. Ruang kuliahpun masih terkunci rapat. Berbeda dengan hari-hari khusus seperti pada masa-masa orientasi mahasiswa baru yang lebih dikenal dengan program pembinaan mahasiswa atau disingkat Probinas. Pukul 4.00 pagi-pun tampak sudah ada kegiatan di dalam kampus, terutama para senior dan mereka yang dipercayakan sebagai panitia pelaksana yang nginap di dalam kampus, sudah berjaga-jaga di halaman menjemput para Maba (mahasiswa baru) sambil teriak-teriak; “Hoi...siapa suruh kamu datang pagi-pagi buta begini ha? Ayo jongkok cepat. Jongkok, dan bunyikan suara seperti ayam jantan sementara membangunkan orang. Kukuruyuk begitu, Ayo !” Pokoknya suasana pagi di masa-masa itu kampus tidak pernah sepi. Bahkan para senior yang sudah hampir memasuki semester ke lima belaspun, datang juga menunjukkan batang hidungnya.

Bukan memuji dan menyombongkan diri, tapi aku termasuk mahasiswa rajin datang kuliah, memanfaatkan waktu sebaik mungkin dalam menyelesaikan tugas-tugas mata kuliah, dan banyak kali datang sebelum ada mahasiswa dan dosen di kampus. Kecuali tampak beberapa satpam kampus yang memang bertugas jaga sejak sore kemarin hingga pagi menanti aplos waktu jaga. Maklum saja, aku sudah terbiasa bangun pagi, dan jalan kaki pagi-pagi dari rumah kost ke kampus. Aku pikir jalan kaki itu sehat adanya, disamping itu sudah menghemat biaya. Dan aku tidak perduli saban kali ada sindiran-sindiran dari teman-teman kuliah tertentu yang membuang kata;”Sudah zaman modern begini kenapa harus jalan kaki bro? Sayangi dirilah naik mikrolet!”

Pada setiap kali mendengar kata-kata seperti ini aku cuma  bisa tertawa di dalam hati, tapi adakalanya aku hanya bisa ber-hehehehehehe saja tanpa komen berlebihan. Perlu diketahui jarak rumah kost dengan kampus ada kurang lebih lima ratus meter, tapi tak apalah aku mesti berkorban juga mengingat Ortuku memang hidup paspasan. Lagian jalan kaki pagi-pagi itu setahuku ada manfaatnya untuk kesehatan jantung, dan fisik, lebih dari pada itu aku bisa melakukan penghematan, dan uang transportasi itu bisa aku gunakan untuk membeli buku yang ada kaitannya dengan mata kuliah, atau untuk keperluan mendadak lainnya. Buat apa harus malu berjalan kaki? Kecuali sudah dalam keaadan terdesak, apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat. Hehehe, ya mesti naik kendaraan tentunya.

Kurang lebih satu jam aku duduk di atas batu membaca-baca catatan-catatan kuliah. Tiba-tiba ada tepukan di bahuku dari arah belakang. Tentu aku kaget lalu berbalik menengok; “Hai…Sayang, sudah lama menunggu? Ternyata dia adalah pacarku, kekasihku, pujaan hatiku. Belum aku menjawabnya, tiba-tiba lagi pacarku menyodorkan sebuah bungkusan kecil. “Ini aku bawakan roti keju untukmu, dan teh manis. Belum sarapan kan? Aku menatap wajahnya dalam-dalam sambil tersenyum. “Sudah”. Jawabku. Pacarku terdiam sejenak sambil memelas, “Ambil saja”, katanya. Terus terang sebenarnya di dalam hati kecilku ada perasaan malu untuk menerima pemberian-pemberian seperti ini, tapi bagaimana ya? Pacarku memberinya dengan ketulusan hati dan jiwanya yang luhur, jadi aku juga menerimanya dengan tangan terbuka. Dan aku menikmatinya dengan ucap syukur.

Aku tahu, dan pacarku juga tahu, bahwa aku mencintainya bukan hanya sekedar cinta di lidah, atau cinta di bibir yang diibaratkan hanya lahir karena di dorong oleh nafsu semata. Tapi memang cinta yang turun dari sorga di landasi kasih dan tanggung jawab. Aku tahu, dan tetap menjaga sampai dimana batas-batas atau norma-norma pergaulan yang masih diterima secara akal sehat, dan terus memelihara hakikat kemurnian cinta yang diharapkan, dan menjalaninya bersama untuk sampai pada tujuannya.

Mungkin hal-hal seperti ini masih bisa di terjemahkan sebagai kata-kata gombal yang keluar dari seorang mahasiswa yang tengah dilanda cinta luar biasa.  Tapi inilah faktanya. Bahwa tidak pernah terlintas dibenakku untuk mempermainkan seorang perempuan yang telah menerima hati dan jiwaku seutuhnya. Aku berusaha sedemikian rupa untuk tetap menjaga hatinya, menjaga dirinya, terutama menjaga komitmen untuk capai sarjana tepat pada waktunya. Siapa bilang dalam perjalanan cintaku tidak ada ciuman? Ah, ciuman…//bersambung.

Posting Komentar

2 Komentar