Arie Tulus : Cintaku Berbunga Di Kampus Berbukit (10)


Iya sayang…, hanya dirimu yang aku sayang, hanya dirimu pula yang aku cinta! Ya, perwujudan cinta yang benar-benar merupakan hasrat luhur tidak disertai praktik kemunafikan serta penghianatan. Betapa siksanya hidup ini jika berhadapan dengan masalah-masalah kemunafikan dan penghianatan atas cinta sejati yang justru dimainkan oleh seorang sahabat sendiri, kepada dia yang telah mengakui, pun diakui sebagai pacar, sebagai kekasih tersayang. Atau sebagai satu-satunya sosok yang telah dipercayai akan menjadi pendamping setia nanti jika kuliah telah selesai, telah meraih gelar sarjana, mendapatkan pekerjaan tetap lalu duduk bersanding di kursi pelaminan ? Oh betapa!

Betapa siksanya hidup ini jika cinta yang sudah terbina berbulan-bulan, bertahun-tahun ternyata telah dinodai dengan sebuah kemunafikan dan penghianatan yang terbungkus rapih tapi akhirnya terbongkar dengan sendirinya oleh karena berpindah kepada seorang sahabat? Duhai…, apalagi mata dan kepala sendiri yang telah ikut menyaksikannya secara jelas dan nyata adanya, langsung tanpa rekayasa, dan tidak bersumber dari cerita mulut orang lain? Sekali lagi betapa hebatnya siksaan bathin yang diderita sang korban ketika terpaksa menelan suasana pergolakan cinta seperti ini. Sebuah suasana yang bukan hanya sekedar menelan pil pahit yang telah dengan sengaja datang meracuni segenap jiwa dan raga.

Dalam hal ini, aku hanya bisa memberikan kesaksian; Betapa siksa dan menderitanya pikiran dan perasaan ini ketika terjebak pada sebuah kenyataan yang sebenarnya tidak diduga sebelumnya. Cinta yang disertai sebuah pengorbanan ternyata tidak dihargai sebagaimana yang diharapkan. Tidak mendapatkan tempat selayaknya dua insan saling berbagi dan menerima cintanya dengan tulus. Sungguh sangat memilukan! Dan rasanya perjalanan kuliah yang sementara ditempuh akan buyar dalam sekejab oleh karena dengan keadaan terpaksa pula harus menikmati kepahitan-kepahitan yang telah datang merampok kebahagiaan cinta yang terbina ?

Apa yang akan terjadi jika suasana kemunafikan dan penghianatan atas cinta ini menimpa dirimu? Apakah akan mengurung diri di kamar kost hingga berminggu-minggu tidak makan, dan tidak minum untuk lebih menyiksa diri hingga menjurus pada sebuah kegilaan yang dapat merusak kestabilan jiwa, yang ujung-ujungnya harus dapatkan perawatan secara intensif di rumah sakit? Wahai...? Apakah akan termotivasi untuk melampiaskan kegalauan ini pada tindakan-tindakan konyol tidak terkontrol hingga pada akhirnya akan berurusan dengan pihak berwajib? Atau ada jalan keluar lain yang lebih arif dan bijaksana untuk memaklumi diri, dan menerima kenyataan luka cinta hidup ini, sambil berusaha menghibur, dan menenangkan diri ?

Bahwa tidak perlu risau. Tidak perlu galau, dan tidak perlu sakit hati secara berlebihan, lalu tanamkan sebuah keyakinan, bahwa hidup ini masih lebih berarti untuk di jalani  lagi dari pada tenggelam dalam persoalan? Bahwa tidak selamanya awan mendung tebal kelabu selalu menundungi perjalanan hidup untuk dapatkan cinta dan kebenarannya. Cinta yang benar-benar diwujudkan atas dasar kemuliaan cinta sejati yang turun dari surga.

Jika tidak didukung sebuah kesadaran, dan kerelaan ikhlas untuk menerima dengan lapang dada berbagai kemunafikan dan penghianatan atas cinta yang dijalani, maka sebuah kemungkinan yang tadinya tidak mungkin, akan saja menjadi mungkin dengan sendirinya datang mengobrak-abrik membunuh matikan segala harapan dan cita-cita mulia sebagai seorang calon sarjana. Sekali lagi dalam hal ini aku hanya bisa memberikan sebuah kesaksian, bahwa kita mesti lebih mencintai hidup, dan harus menjalaninya dengan sebuah keyakinan, bahwa Tuhan yang disebut sebagai sumber sang cinta dan kebenarannya, takkan pernah biarkan para pencari cinta sejati untuk temui, dan dapatkan doa-doa cinta yang dipanjatkannya.

Aku telah punya kebiasaan untuk salurkan secara positif tentang berbagai persoalan hidup yang aku alami. Termasuk persoalan cinta dengan keruwetannya selama di bangku kuliah ini. Dimana sehari-harinya segala apa yang aku saksikan, aku lihat, aku dengar, dan aku rasakan, dan alami, dapat aku catat pada lembar-lembar buku catatan harianku. Guruku pernah bilang padaku: “jika anda punya masalah, ambillah pena dan kertas, lalu tuliskan segala rasa marahmu, rasa benci, protes, pun rasa cinta yang dalam itu. Siapa tahu sekali kelak catatan-catatan itu menjadi sebuah kisah yang bisa jadi puisi, jadi cerita, atau jadi kenangan manis dimana dirimu telah melewati masa-masa tragis, dan mengagungkan.// bersambung


 

Posting Komentar

0 Komentar