Arie Tulus : Cintaku Berbunga Di Kampus Berbukit (4)

"Cintaku 4 " Digital Art Arie Tulus 2020

4

“Halo Sayang…Sudah bangun belum ? Cium Sayang ya ?”. Membaca SMS yang barusan masuk di no HP-ku ini, terus terang bikin penasaran, dan bahkan dalam benakku timbul berbagai keanehan. Tapi aku tidak serta merta langsung nelpon balik. Apa sebab ? Nomor hp tersebut sama sekali tidak aku kenal,  karena tidak terdaftar resmi dalam memori hp-ku. Dengan kata lain, hanya nomor hp dari kenalanku, keluarga, sahabat, dosen, orang-orang penting yang berpengaruh di dalam hidupku, terlebih pacarku, semuanya telah aku simpan dengan nama yang jelas.

Mungkin bagi laki-laki lain, garida gatal gila maniso mangidang, ketika membaca SMS seperti ini akan langsung tersihir alias ba ewe malele gidi-gili, dan sesegera mungkin membalasnya, atau langsung nelpon balik untuk mencari tahu siapakah dia sebenarnya? Tapi aku, sekali lagi tidak serta merta menelponnya. Justru SMS ini langsung saja aku hapus. Jika tidak menghapusnya, itu artinya menyimpan api dan racun sebagai pembawa malapetaka dalam bahtera cinta bersama pacarku yang hingga saat ini masih terjaga.

Satu persatu kokok ayam jantan di pagi buta ini sudah mulai terdengar. Tapi aku masih coba teruskan rasa ngantukku bersama selimut dan bantal. Aku terbangun ketika alarm di hpku berbunyi menandakan pukul 6.00. Dan doa pagi ini terus terang tidak panjang-panjang. Aku hanya berterima kasih karena nadiku masih berdetak, dan meminta pada Tuhanku agar sepanjang hari ini diberkati begitupun dengan kedua orang tuaku yang hingga saat ini banting tulang di kebun, demi membahagiakan aku yang saat ini masih kuliah. Ya, kedua orang tuaku adalah petani tulen. Dan aku tidak malu-malu memberikan kesaksian ini di hadapan teman-teman kuliah, di depan dosen, bahkan di depan pacarku. Aku tak mau bersikap munafik. Tak mau menutup-nutupi keberadaan keluargaku, apalagi keberadaan status pekerjaan orang tuaku. Bahwa aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga petani, yang sehari-harinya hidup dari hasil bertani.

Pada setiap kali orang tuaku datang di rumah kostku dengan membawa ubi, pisang, beras, bersama uang pas-pasan untuk membayar sewa kamar kost, aku selalu menyambutnya dengan bangga dan senang hati. Dan tidak ada usaha untuk menutup-nutupi, atau dengan sengaja bersembunyi karena malu. Seperti yang dilakukan Donjot terhadap orang tuanya selang beberapa bulan lalu. Bayangkan, sudah dari jauh-jauh orang tuanya datang, justru dia lari bersembunyi tak mau bertemu sampai orang tuanya pulang kampung. Sampai-sampai Orang tuanya kecewa amat, dan tidak habis pikir merenungkan kelakuannya. Donjot…Donjot, tega amat kamu tidak mau ketemu Ortumu.//bersambung,


Posting Komentar

0 Komentar